Aneh
tetapi nyata, sementara banyak orang di Indonesia menggunakan
BlackBerry dengan bangga, di AS sebagian pengguna perangkat tersebut
justru merasa minder saat harus mengeluarkan smartphonenya di keramaian.
Rachel
Crosby yang bekerja sebagai seorang sales representative adalah sosok
pekerja yang harus menemui banyak orang dalam aktivitas sehari-harinya,
dan ia merasa kurang leluasa saat harus menggunakan ponsel pintar
berkeyboard qwerty itu di hadapan orang. "Saya merasa malu karenanya,"
kata Rachel yang juga mengakui ia menahan diri untuk tidak menggunakan
BlackBerry di acara-acara cocktail dan konferensi saat banyak orang
berkumpul. Ia menegaskan bahwa saat rapat pun, ia menyembunyikan
BlackBerry-nya di bawah iPad untuk menghindari prasangka dari klien yang
hadir.
BlackBerry
memang pernah berjaya dan dianggap ponsel paling wah di AS, tetapi kini
pamornya benar-benar surut. Meski masih memiliki pangsa pasar yang
besar di India dan Indonesia, perangkat buatan RIM itu makin sering
menjadi bulan-bulanan dan bahan ejekan. Pangsa pasar BlackBerry sendiri
hanya kurang dari 5% di Indonesia. Sangat jauh dari persentase 3 tahun
lalu yang mencapai 50%!
Fenomena
mindernya pengguna BlackBerry atas perangkat mereka sendiri ini cukup
menarik dan menjadi cerminan betapa cepatnya tren dunia teknologi
berubah.
Kini
kebanyakan pengguna BlackBerry bukan lagi anak muda yang dinamis di
Silicon Valley tetapi para pebisnis di ibukota AS Washington D. C., Wall
Street dan mereka yang bekerja di ranah hukum. Sementara pengguna yang
berusia lebih muda memilih iPhone dan Android.
Di
saat yang sama, ditemukan pula beberapa pengguna BlackBerry di AS yang
masih setia menggunakan ponsel asal Kanada itu. Alasannya sangat
sederhana, karena perangkat ini memiliki keyboard fisik. "Saya
menggunakan BlackBerry karena saya tidak bisa mengetik email di ponsel
berlayar sentuh," ujar Lance Fenton seorang investor berusia 32 tahun
yang sering bepergian dan harus bertukar email di perjalanan. Kayanya
pilihan aplikasi di iPhone juga tidak membuatnya beralih ke iPhone. Ia
beralasan, ia tidak membutuhkan aplikasi yang ditawarkan.
Bagaimana dengan para pengguna BlackBerry di Indonesia?